SALIRA TV | KOTA TASIKMALAYA – 8 Juli 2025 — Di balik hiruk-pikuk aktivitas pemerintahan di Balai Kota Tasikmalaya, tersimpan potret kehidupan yang kerap luput dari sorotan. Dua sosok lanjut usia—Kakek Endang dan Mak Anah—menjadi cermin nyata dari perjuangan hidup yang sunyi, namun menggugah nurani. Menyadari hal tersebut, H. Wahyu, seorang figur publik yang dikenal aktif dalam kegiatan sosial, kembali melangkahkan kaki menyusuri sudut-sudut kota, bukan sekadar memberi bantuan, tetapi juga menyampaikan pesan kepedulian yang mendalam.
Kisah Kakek Endang: Sunyi dalam Derita
Perjalanan sosial kali ini mengantarkan H. Wahyu ke Kampung Rancageuneung RT 02 RW 03, Kelurahan Sukajaya, Kecamatan Bungursari. Berdasarkan informasi yang diterima dari warganet, ia mengunjungi Kakek Endang, pria berusia 68 tahun yang hidup sebatang kara dalam kondisi kesehatan yang memprihatinkan.
Keseharian kakek tersebut bergantung sepenuhnya pada kebaikan hati para tetangga. Rumah yang ditempatinya pun jauh dari kata layak, seakan berdiri sebagai saksi bisu dari keterpinggiran yang nyata.
H. Wahyu datang membawa sekarung beras dan bantuan tunai sebesar seratus ribu rupiah. Namun lebih dari sekadar materi, sorot matanya yang prihatin saat meninjau rumah tersebut menyiratkan kepedulian mendalam. “Ini bukan sekadar rumah yang rusak—ini jeritan yang lama tak terdengar,” ucapnya lirih.
Mak Anah: Semangat Tak Padam di Usia Senja
Tak berhenti di satu titik, langkah H. Wahyu kemudian mengarah ke kediaman Mak Anah, seorang perempuan tangguh berusia 80 tahun. Meski usia tak lagi muda, semangat hidup Mak Anah justru menjadi sumber inspirasi. Ia masih rajin beribadah, aktif mengikuti kegiatan keagamaan, dan tetap menjaga rutinitas dengan penuh semangat.
Sebagaimana Kakek Endang, Mak Anah juga menerima bantuan berupa beras dan uang tunai. Namun lebih dari itu, kehadiran H. Wahyu membawa kebahagiaan tersendiri bagi perempuan tua itu—sebuah pengakuan bahwa dirinya tidak benar-benar dilupakan.
Membuka Mata, Menggerakkan Hati
Kisah yang terungkap dari dua lansia ini bukan sekadar laporan kegiatan amal. Ia menyentuh sisi kemanusiaan yang sering tertutupi oleh geliat pembangunan kota. Di balik modernisasi dan kemajuan infrastruktur, masih ada jiwa-jiwa yang bertahan dalam kesunyian dan keterbatasan, berharap uluran tangan yang tulus.
Inisiatif H. Wahyu yang bersumber dari laporan masyarakat digital menunjukkan pentingnya sinergi antara warga dan individu yang peduli. Media sosial, dalam konteks ini, bukan sekadar ruang berbagi informasi, tetapi dapat menjadi jembatan untuk menyalurkan empati dan aksi nyata.
Refleksi untuk Kota yang Ingin Lebih Manusiawi
Aksi sederhana ini menjadi panggilan moral, mengingatkan bahwa kemajuan sejati sebuah kota bukan hanya diukur dari gedung-gedung megah atau jalanan yang mulus, tetapi juga dari bagaimana ia memperlakukan warganya yang paling rentan.
Harapannya, kisah Kakek Endang dan Mak Anah bisa menjadi pemantik kesadaran kolektif, baik bagi pemerintah maupun masyarakat luas, untuk lebih hadir di tengah realitas mereka yang selama ini terpinggirkan.
Karena kota yang baik adalah kota yang tidak meninggalkan siapa pun di belakang.
Heri Heryanto