SALIRA TV | KOTA TASIKMALAYA – Upaya penyelesaian secara kekeluargaan dalam kasus dugaan penganiayaan di wilayah Cihideung, Kota Tasikmalaya, menuai sorotan tajam. Meskipun proses mediasi telah menghasilkan kesepakatan damai antara korban dan pelaku, aparat kepolisian tetap melanjutkan proses hukum dan melakukan penahanan terhadap tersangka. Keputusan ini menimbulkan tanda tanya besar mengenai konsistensi pelaksanaan prinsip Keadilan Restoratif di tingkat akar rumput.
Kasus ini berawal dari laporan polisi yang diajukan oleh Rudi Erwindi atas dugaan penganiayaan yang terjadi pada 31 Mei 2025. Tersangka dalam perkara tersebut, Asep Henhen, dilaporkan melakukan kekerasan fisik di area parkir sebuah kafe. Namun, perkembangan situasi memperlihatkan langkah rekonsiliasi: pada 12 Juni 2025, Asep Henhen beserta orang tuanya mendatangi kediaman Rudi Erwindi untuk menyampaikan permintaan maaf. Pertemuan mediasi disaksikan oleh sejumlah tokoh masyarakat, dan kedua belah pihak menandatangani dokumen perdamaian bermeterai sebagai bukti kesepakatan.
Penahanan Usai Perdamaian, Keluarga Terkejut
Ironisnya, tidak lama setelah proses mediasi selesai, Asep Henhen ditangkap oleh Unit Reskrim Polsek Cihideung pada malam yang sama, sekitar pukul 20.00 WIB, ketika hendak pulang. Penahanan dilakukan tanpa disertai surat perintah pada saat kejadian, yang kemudian menimbulkan kebingungan di pihak keluarga.
Keesokan harinya, keluarga pelaku bersama tokoh masyarakat, termasuk Uus Hercules selaku petugas keamanan lingkungan, mendatangi Polsek untuk memberikan klarifikasi bahwa persoalan tersebut telah diselesaikan secara damai. Namun, respons yang diterima dinilai kurang memuaskan. Pihak penyidik menyampaikan bahwa perkara ini merupakan atensi khusus dari Kapolres dan Polda Jabar, sehingga tidak dapat dihentikan begitu saja, meskipun telah terjadi perdamaian.
Harapan Restorative Justice Terkikis oleh Jalur Birokrasi
Merasa ada ketidaksesuaian antara prinsip keadilan restoratif dengan praktik hukum yang berjalan, Jajang Suryaman selaku Ketua Ormas Grib Jaya turut turun tangan mendampingi pihak keluarga. Ia melakukan koordinasi dengan Polres Tasikmalaya Kota, dan menyampaikan permohonan resmi untuk penerapan Restorative Justice.
Setelah dilakukan audiensi, pihak Polres menyarankan agar permohonan administrasi RJ tetap diajukan ke Polsek Cihideung. Namun, sejak pengajuan pada 4 Juli 2025, dokumen tersebut belum menunjukkan progres signifikan. Pihak keluarga korban dan pelaku terus melakukan pemantauan, namun hanya menemukan proses birokrasi yang berjalan lamban dan kurang transparan.
Situasi ini mencerminkan bahwa implementasi Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif belum sepenuhnya sejalan dengan praktik di lapangan. Penahanan tetap dilakukan meskipun unsur utama keadilan restoratif – yakni kesepakatan damai dari kedua pihak – telah terpenuhi.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum dapat lebih bijaksana dan konsisten dalam menerapkan prinsip-prinsip keadilan yang bersifat humanis dan kontekstual, sehingga semangat musyawarah dan mufakat tidak sekadar menjadi jargon semata.
Heri Heryanto